Langsung ke konten utama

Unggulan

Latihan Nulis

Malam ini aku duduk di bangku 5E kereta Kutojaya Selatan menuju Kutoarjo. Dalam rangka pulang menuju Jogja ini tetiba muncul notif di Hpku kalau ternyata esaiku mendapatkan juara 2. Benar saja setelah kupantau instagram ternyata betul 😊 Alhamdulillah. Tapi sejatinya, dalam proses pengerjaan esaiku ini pun tidak seluruhnya adalah murni dariku. Let me explain, jadi esaiku berjudul Inovasi Penanganan Sampah di Kota Bandung Pasca Tutupnya TPA Sarimukti. Ide dari esai tersebut adalah bagaimana sih cara menangani sampah yang sudah menggunung di kota bandung. Ide ini terbesit ketika tahun lalu sekitar November – Desember 2022 aku menjadi pengajar tambahan di prodi Teknik Lingkungan Itenas. Disana aku ngajar cara mendesain bentuk TPA (Tempat Pembuangan Akhir Sampah) yang ideal seperti apa. Walaupun secara teoritis aku bahkan tidak tau gimana kriterianya maupun syarat-syarat pembuatan TPA, tapi tetap kupaksakan untuk bisa menjadi pengajar disana. Dan alhamdulillah setelah beberapa kali bertuk

Ngasuh

“Jadi Nang, hidup itu sejatinya cuma ngasuh..” ucap beliau sembari melanjutkan melahap sarapan

“... mumpung sekarang baru family gathering, orang-orangnya kamu kenal, masih sefrekuensi, pemikiran masih mirip.. Ini waktu yang tepat buat latihan ngasuh. Kamu adalah panitia, sebaik mungkin membuat senang semua orang.” tambah orang nomor satu di perusahaan itu.

Hampir kubuka mulutku untuk menjawab setelah beliau bilang begitu.. tapi kuurungkan niatku. Karena aku nggaktau apalagi wejangan apa yang akan beliau berikan. Meluap flashback akan kata-kata terakhir beliau.... Aku nggakbisa membuat senang semua orang. Aku sudah lama menyadari hal itu. Sudah menyerah melakukan hal itu. Karena faktanya memang tidak bisa. Semua orang memiliki masalah masing-masing dalam hidupnya.. Dan beberapa diantaranya bahkan mereka sendiri tidak caranya untuk membahagiakan diri mereka. Ada yang mencoba membuang-buang uangnya untuk meraih ‘kebahagiaan’, ada yang keluar dari zona nyaman untuk mencari hal yang mereka sendiri tak tau apa itu. Ada pula yang memilih untuk merayakan kesedihannya untuk melakukan hal yang menyimpang....

Iya. Aku meyakini bahwa, sampai kapanpun, Tidak akan bisa membuat semua orang senang. Tidak akan pernah. Jadi, kenapa??

Kenapa orang nomor satu di perusahaan menyuruhku untuk mencobanya???

Kenapa orang yang menyuruhku untuk kuliah (lagi) bilang begitu?

Kenapa orang yang kuyakini punya kebijaksanaan tertinggi dari seluruh orang yang kukenal selama hidup memberiku wejangan itu?

Aku yakin ada jawabnya. Tidak mungkin beliau sembarangan berbicara. Alhasil, sembari menelaah dan memprosesnya.. dalam isi kepalaku, kembali ku terdiam. Namun, beliau melanjutkan “...kamu harus bisa menjaga keutuhan keluarga ini, menjaga keharmonisan kita, menjaga kita kedepannya. Mau tidak mau, sebagai seorang lelaki... Kamu harus menjadi pemimpin. Dan saya yakin, kamu bakal menjadi salah satu pemimpin yang hebat untuk perusahaan ini. Maka dari itu kamu harus siap menjadi tempat ‘pegangan’ bagi orang lain. Menjadi tempat bertumpu bagi orang lain. Be what you are meant to be”

DUUAAAARRRRRR..... KEPALAKU MELEDAAAAKKKK... HATIKU MEMBUNCAH...

Sungguh. Dalam hidup, aku (alhamdulillah) banyak menerima pujian dari orang lain. Dari keluarga, teman, dan bahkan orang yang baru kenal. Tapi level kebahagiaannya sangat berbeda kalau hal itu diutarakan oleh orang yang sangat berarti dalam hidupku. Dan beliau meyakini hal itu. Sungguh berbahagianya hati ini :)

Aku jadi teringat momen-momen yang terjadi akhir-akhir ini, ternyata kebanyakan mengeluh. Bahkan ke orang yang aku sendiri nggak yakin paham atau tidak akan gundahku. Aku mengeluhkan ini itu, aku mengeluhkan situasi-situasi yang bahkan diluar kendaliku. Aku bahkan tidak bisa mengontrol diriku. Terjebak dalam chaos dunia fana yang penuh drama ini. Hidup dalam bayang-bayang ekspektasi orang lain. Menjalani hidup diluar hidup yang sebenarnya tak tau ini benar atau tidak. Ternyata, aku kehilangan diriku.

“Iya, siap mas..” jawabku sembari meneguk kopi hitamku yang mulai dingin

Lalu kuputuskan untuk beranjak dari kursiku, merapikan cangkir kopiku, meninggalkan beliau yang masih sarapan dengan putrinya. Ternyata, aku memilih mengesampingkan egoku dan memulai kembali untuk mengasuh.

Komentar

Postingan Populer